UNUGIRI, Jejak Kampus NU Menatap Perubahan

Oleh: Ichwan Arifin*

Beberapa waktu lalu, saya diundang mengisi “Kuliah Pakar” di Universitas Nahdhatul Ulama Sunan Giri (UNUGIRI) Bojonegoro. Narasumber lainnya, Andie Megantara, PhD – Sekretaris Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kementerian PMK. Diskusi bertema“Transformasi Literasi Digital untuk SDM yang Unggul menuju UNUGIRI World Class University”.

Meskipun bukan pakar dalam bidang apapun, namun saya selalu tertarik untuk berbagi pengalaman, pemikiran dan keilmuan. Semangat itu selalu muncul, apalagi diskusi bersama para mahasiswa. Analisanya selalu tajam, sehingga jadi pemicu diri untuk terus belajar. Kebetulan, waktunya juga “pas” dengan jadwal pulang ke Indonesia. Jadi, sesuai dengan peribahasa, “sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui”.

UNUGIRI, sesuai namanya, salah satu kampus yang bernaung dibawah organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdhatul Ulama (NU). Lokasinya tidak berada di ibukota negara atau kota besar lainnya. Kampus ini berlokasi di Kabupaten Bojonegoro, sebuah kota kecil di Jawa Timur. Selama ini, Bojonegoro tidak dikenal sebagai “kota pendidikan”. Masyarakat lebih mengenal kampus-kampus di Surabaya, Malang atau Jember. Nama Bojonegoro juga baru mengemuka secara nasional setelah ditemukannya sumber migas Blok Cepu.

Jadi, sangat dipahami jika sekian tahun silam, keberadaan UNUGIRI nyaris tak terdengar. Secara visual, bangunannya juga terkesan “seadanya”. Namun beberapa tahun belakangan ini, UNUGIRI berbenah diri. Pembenahan mencakup infrastruktur serta sumberdaya manusia. Hasilnya, tranformasi luarbiasa. Dari yang tidak “visible” menjadi sangat bersinar. Secara kasatmata, beragam fasilitas pendukung perkuliahan, mulai dari gedung, laboratorium dan sebagainya, telah dibangun. Begitu pula aspek pengembangan SDM. Program peningkatan kapasitas dosen, staf kampus dan juga mahasiswa terus dikembangkan. Kekuatan jejaring, manajemen yang handal, dan pemikiran visioner dari pengelola serta dukungan NU, menjadi kunci keberhasilan transformasi tersebut.

Kuliah pakar menjadi salah satu cara mengenalkan dan memperluas cakrawala para mahasiswa. Peluang berinteraksi langsung dengan para praktisi beragam latabelakang keilmuan, karena pengetahuan bisa datang dari beragam sumber. Tidak hanya dari perkuliahan sehari-hari

Revolusi Digital
Sesuai tema, saya bicara tentang literasi digital. Dilihat dari perspektif perubahan global. Intinya mengajak para mahasiswa menyelami perubahan besar yang tengah terjadi. Perubahan global yang membawa peradaban manusia ke era atau zaman baru. Sejatinya, perubahan itu telah dirasakan dan berdampak pada seluruh kehidupan manusia.

Era digitalisasi dalam industri manufaktur ditandai dengan komputerisasi pada proses produksi. Sistem otomatisasi berbasis komputer membuat produksi barang semakin mudah. Perkembangan teknologi informasi melalui revolusi digital membuahkan efisiensi dan transparansi perdagangan. Saat ini, melalui beberapa “market place”, konsumen dapat terhubung langsung dengan produsen sehingga memangkas rantai distribusi jadi lebih pendek.

Revolusi digital juga telah mendorong penciptaan hal-hal baru sekaligus menembus batas antara lingkup fisis, teknologi informasi, teknologi biologis, dan teknologi digital itu sendiri. Saat ini, komputasi kuantum dan juga keberadaan “Artificial Intelligence (AI)” bukan lagi fantasi dalam film, tapi hadir nyata dalam kehidupan kita.

Hal yang lebih “mengerikan” adalah proyeksi dari Yuval Noah Harari tentang “Revolusi Kembar”. Bersandingnya teknologi informasi (infotek) dan teknologi biologis (biotek) akan menghasilkan algoritma “Big Data” yang dapat memonitor dan memahami perasaan manusia. Imbasnya, otoritas dapat beralih dari manusia ke komputer yang dapat meretas data tentang manusia, sehingga dikemudian hari akan terwujud kondisi yang disebut sebagai manusia data. Secara kolektif, akan terbentuk masyarakat data.

Dua Sisi Perubahan
Dalam kehidupan yang tidak langgeng, hanya perubahanlah yang terus ada. Perubahan selalu menghadirkan dua sisi. Satu sisi menciptakan peluang baru, sisi lain juga menghadirkan “ancaman” bagi kemapanan. Imbas perubahan saat ini, misalnya, terjadi dalam aspek pekerjaan. Beberapa profesi atau jenis pekerjaan telah hilang, karena tidak diperlukan atau tidak lagi menggunakan tenaga manusia. Di pabrik-pabrik, robot telah lama menggantikan peran tenaga manusia. Dalam konteks kecil, toko swalayan di negara-negara maju, sebagian besar sudah tidak memerlukan tenaga kasir karena pembeli dapat melakukan transaksi secara mandiri. Dan begitupula terjadi beberapa jenis pekerjaan konvensional lainnya.

Namun, disisi lain, perubahan tersebut juga menghadirkan peluang baru. Misalnya, sekian tahun lalu, mungkin kita tidak pernah membayangkan ada pekerjaan “Youtubers”, “Tiktokers”, atau “selebgram”. Sekarang, mereka berseliweran dalam kehidupan kita.

Terpaan kemajuan teknologi itu sangat dahsyat. Bahkan, para pelaku bisnis besar pun, supaya “survive”, harus menyesuaikan diri atau beradaptasi. Bukan melakukan penolakan atau antipati terhadap perubahan. Misalnya, bisnis transportasi, pengusaha transportrasi konvensional akhirnya mengintegrasikan diri dengan teknologi baru dalam jasa transportasi. Begitupula, sektor bisnis lainnya, seperti media massa, yang lain pun pasti akan beradaptasi.

Perubahan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga dalam skala global. Jarak, ruang dan waktu yang membelah dunia, saat ini bukan lagi hambatan. Lalulintas informasi, barang, jasa dan sebagainya dari satu negara ke negara lain sangat mudah dilakukan. Dunia pendidikan pun tidak luput dari terpaan tersebut.

Menghadapi situasi itu, kampus tidak mungkin bersembunyi dari perubahan. Menutup diri seperti katak dalam tempurung. Karena itu, pemikiran besar UNUGIRI untuk menjadikan diri sebagai “world class university” sangat tepat. Tentu tidak mudah mewujudkan hal tersebut. Komitmen, dedikasi, kerja keras, membangun jejaring global dan sebagainya mutlak diperlukan.

Jejak sudah dilangkahkan. Pantang untuk disurutkan. Apalagi, tidak ada yang tidak mustahil dalam dunia ini. Seperti kata Paolo Coelho, “Mustahil hanyalah sebuah opini!”

*Alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Praktisi Komunikasi. Tinggal di Port Moresby, Papua New Guinea (PNG).

Leave a Reply

Pilih Bahasa »